Tergoda Istri Atasanku

0

Seperti yang kujanjikan, beberapa teman kantorku akhirnya menjadi langganan pijatan Bu Mumun setelah aku mempromosikannya. Rupanya pijatannya benar-benar disukai para pria. Termasuk Pak Marmo, atasanku.

Bahkan ada dua temanku yang menanyakan kemungkinan untuk tidak sekadar mendapat layanan memijat dari Bu Mumun tetapi lebih dari itu. “Kayaknya bisa nggak To kalau Bu Mumun diajak begituan. Aku suka lho wanita tipe seperti dia. Sudah tua tapi tubuhnya masih bagus dan terawat,” kata Rizal, teman sekantorku suatu hari setelah hari sebelumnya dipijat Bu Mumun di rumahnya.

Rizal juga cerita, saat dipijat ia sempat menggerayang ke balik daster yang dipakai Bu Mumun. Tetapi ternyata, kata Rizal, Bu Mumun di samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut juga memakai celana dalam rangkap. “Entah rangkap berapa celana dalam yang dipakainya. Aku sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia,” ungkap Rizal menambahkan.

Mendengar ceritanya aku jadi ingin ketawa sekaligus bangga. Sebab ide memakai pakaian seperti itu saat memijat memang atas saranku. Karena kuyakin para pria pasti tertarik untuk iseng dan coba-coba. Tetapi agar Rizal menjadi penasaran dan tetap menjadi langganan pijat, kukatakan padanya kalau aku tidak tahu bisa tidaknya Bu Mumun memberi layanan seks selain memijat.

“Selama ini sih aku hanya tahu ia tukang pijat yang baik dan pijatannya enak. Kalau sampai ke masalah itu saya tidak tahu. Mungkin kalau pendekatannya pas bisa saja ia mau melayani. Apalagi kan udah cukup lama ia ditinggal suaminya,” ujarku.

Pria lain yang juga terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Bu Mumun adalah atasanku. Bahkan setelah aku sering mengantar Bu Mumun untuk memijat, karena Pak Marmo lebih senang pijat di rumahnya, ia menjadi semakin dekat denganku. Aku juga dipercaya memegang sebuah proyek dengan nilai cukup besar, sesuatu yang belum pernah dipercayakan padaku.

Menurut Pak Marmo, pijatan Bu Mumun bukan hanya enak tetapi juga mampu menggairahkan kejantanannya. “Jangan cerita ke siapa-siapa ya. Saya dengan ibu sudah lama tidak jalan lho. Nggak tahu kenapa. Tetapi melihat pemijat tetanggamu itu dan mendapat pijatannya, sepertinya mulai agak bangkit. Suaminya sampai sekarang belum pulang?” kata Pak Marmo ketika aku menghadapnya di ruang kerja.

Pak Marmo mengundangku karena nanti malam jadwalnya dia dipijat Bu Mumun. Tetapi menurut dia, istrinya juga ada rencana belanja ke supermarket dan menemui salah satu koleganya pedagang permata. Selain mengantar Bu Mumun ke rumahnya, aku diminta bantuan menyopir mobil untuk mengantar istrinya.

Sebagai seorang bawahan terlebih karena kebaikannya mempercayakan sebuah proyek berdana besar kepadaku, kusampaikan kesediaanku. Namun sebelum aku keluar dari ruangannya ia kembali mencegah dan berbisik. “Eh Ton, kira-kira bisa nggak tukang pijat itu memberi layanan lebih? Kamu bisa bantu atur?”

Aku paham kemana arah pembicaraan atasanku itu. Maka seperti yang kusampaikan kepada dua temanku yang menjadi langganan pijat Bu Mumun, kukatakan bahwa selama ini yang kutahu ia hanya berprofesi sebagai pemijat dan soal yang lain-lain belum tahu. Hanya kepada Pak Marmo kukatakan akan mencoba melakukan pendekatan ke Bu Mumun.

Setelah keluar dari ruang kerja atasanku, aku menemui Bu Mumun. Sambil berpura-pura cemburu kuceritakan soal ketertarikan atasanku kepadanya. Tetapi juga kuceritakan tentang kebaikan Pak Marmo termasuk kepercayaannya memberikan proyek besar di bawah penangananku.

Bu Mumun cerita, setiap dipijat Pak Marmo memang berusaha merayunya. Juga berusaha menggerayang ke balik pakaian seperti temanku yang lain. “Tetapi kelihatannya punya Pak Marmo sudah sulit bangkit kok,” ujar Bu Mumun.

“Oh jadi cerita Pak Marmo soal kemampuan seksnya yang sudah berkurang itu bener?” Kataku pura-pura kaget.

“Jadi enaknya sikapnya gimana Pak Anto. Dia kan atasan bapak dan juga baik sama bapak,” ujarnya lagi.

Akhirnya dengan seolah-olah sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk kuputuskan, kukatakan padanya bahwa karena kondisi kemampuan seks atasanku tidak normal maka sebaiknya Bu Mumun membantunya. Saat memijat, sebaiknya tidak memakai celana dalam rangkap tiga dan juga tidak memakai celana panjang di balik daster yang dipakai.

“Maksud saya agar Pak Marmo terangsang karena dia suka sama ibu. Memang resikonya Pak Marmo jadi leluasa menjahili ibu sih. Tetapi niatnya kan untuk membantu menyembuhkan dia. Gimana menurut ibu?”

“Kalau itu yang terbaik menurut Pak Anto saya sih nurut saja. Tetapi Pak Anto jangan cemburu ya,”

Bu Mumun langsung kupeluk. Kukatakan padanya bahwa sebenarnya aku sangat cemburu dan tidak suka tubuh Bu Mumun diraba dan dipegang-pegang orang lain. Tetapi demi menolong atasanku itu dan demi membalas kebaikannya aku akan berusaha untuk tidak cemburu. “Asal yang ini jangan diberikan semua ke Pak Marmo ya bu. Saya suka banget dengan yang ini,” ujarku sambil meraba memek Bu Mumun setelah menyingkap dasternya.

Tadinya aku berniat melepaskan hasratku untuk menyetubuhi tubuh montok tetanggaku itu. Tetapi setelah saling memagut dan hendak saling melepaskan baju, kudengar anak-anak Bu Mumun pulang dari sekolah. Hingga kuurungkan niatku dan langsung kebur menyelinap lewat pintu belakang.

Seperti yang kujanjikan, sekitar pukul 17.00 kujemput Bu Mumun dan kuantar ke rumah Pak Marmo. Bu Mumun memakai seragam baju terusan warna putih seperti yang biasa dipakai suster rumah sakit. Itu memang baju seragamnya saat memijat. Tetapi dari bentuk cetakan celana dalam yang membayang di pantatnya yang besar, kuyakin ia tidak pakai celana panjang dan celana dalam rangkap seperti biasanya. Rupanya ia benar-benar memenuhi janjinya untuk melayani Pak Marmo dengan lebih baik seperti yang kusarankan.

Kulihat Pak Marmo sedang menyiram bunga di halaman rumahnya saat aku datang. “Eh To, silahkan masuk. Tuh istriku udah uring-uringan karena sudah dandan dan siap berangkat,” ujarnya mempersilahkan.

Benar Bu Marmo sudah berdandan rapi dan siap pergi. Bahkan ia langsung menyerahkan kunci kontak mobil kepadaku. “Wah ibu takut Nak Anto telat datang. Soalnya selain belanja ibu kan harus ke rumah Bu Ramli, jadi takut kemalaman,” kata Bu Marmo.

Bu Marmo menyapa Bu Mumun ramah dan mempersilahkan masuk ke ruang tamu rumahnya. Ia meminta Bu Mumun menunggu karena suaminya belum mandi. Bahkan kepada Bu Mumun juga berpesan untuk istirahat di kamar tamu rumahnya kalau selesai memijat nanti ia belum pulang. “Santai saja Mbak Mumun nggak usah sungkan-sungkan. Kalau mungkin nanti saya juga ikut dipijat,” ujar Bu Marmo yang langsung mengahmpiriku yang sudah siap dengan mobil Kijang keluaran terbaru milik keluarga itu.

Usia Bu Marmo mungkin sebaya dengan Bu Mumun. Atau boleh jadi lebih tua satu atau dua tahun. Namun dengan pakaian stelan jas tanpa kancing yang dipadu dengan kaos warna krem di bagian dalam serta celana panjang ketat warna hitam senada, wanita itu tampak berwibawa.

Bau harum yang lembut dari wangi farfumnya membaui hidungku saat ia masuk ke dalam mobil. Ia menyebut nama sebuah suoermarket ternama hingga aku langsung menjalankan mobil perlahan. Untung aku yang biasanya hanya memakai T shirt, tadi memutuskan memakai baju lengan panjang meski untuk celana tetap memilih jins. Hingga tidak terlalu canggung mengantar istri atasanku.

Ukuran dan bentuk tubuh Bu Marmo nyaris sama dengan Bu Mumun, tinggi besar. Kakinya panjang dan kekar. Hanya perutnya relatif lebih rata, mungkin karena rajin senam dan olahraga hingga tubuhnya tampak lebih liat.

Awalnya pembicaraan lebih bersifat formal. Tentang bagaimana sikap kepemimpinan suaminya di kantor dan bagaimana penilaianku sebagai bawahan. Namun lama kelamaan perbincangan menjadi lebih cair setelah topiknya menyangkut keluarga. “Sebentar lagi cucu saya dua lho Nak Anto. Sebab Menik kemarin telepon katanya sudah hamil,” kata ibu beranak tiga itu.

“Kalau ngomongnya sama orang yang tidak tahu keluarga ibu nggak akan percaya kalau ibu sudah punya cucu,”

“Lho kok?”

“Soalnya dari penampilan ibu, orang pasti mengira usianya belum 40 tahun. Soalnya ibu terlihat masih muda dan energik,” kataku memuji.

“Ah bisa saja Nak Anto. Pujiannya disimpan saja deh untuk istri Nak Anto. Pasti istrinya cantik ya karena Nak Anto kan pandai merayu,”

Lewat kaca spion, wanita yang sehari-hari menjadi kepala sekolah di sebuah SD itu kulihat tak mampu menyembunyikan perasaan bangganya atas pujian yang kuberikan. Seulas senyum manis terlihat menghias wajahnya, wajah yang masih menyimpan sisa-sisa kecantikan di usianya yang sudah lebih dari setengah abad.

Melihat Bu Marmo aku jadi ingat Bu Mumun. Wanita itu pasti lagi sibuk memijat tubuh atasanku. Atau boleh jadi sambil memijat ia jadi terangsang karena tangan Pak Marmo yang menggerayang ke paha dan selangkangan atau di memeknya yang kini hanya dibalut satu buah celana dalam.

Membayangkan semua itu aku kembali melirik Bu Marmo yang ada di sebelahku. Perbedaan Bu Mumun dengan Bu Marmo mungkin hanya pada warna kulitnya. Kulit Bu Mumun lebih terang dan Bu Marmo agak gelap. Kalau teteknya, aku berani bertaruh payudara istri atasanku ini juga cukup besar ukurannya. Meski tertutup jas hitam dan kaos krem yang dipakainya, tonjolan yang dibentuknya tak bisa disembunyikan.

Di luar itu, yang pasti Bu Marmo lebih wangi dan boleh jadi tubuhnya lebih terawat. Sebab ia memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk merawat tubuh dan membeli parfum mahal. Tetapi begitulah hidup, rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau dibanding rumput di halaman sendiri.

“Sudah berapa lama ya Pak Marmo tidak menyentuh wanita berwajah manis ini? Ah aku juga mau kalau diberi kesempatan,” ujarku membathin sambil melirik bentuk kakinya yang panjang dan tampak indah dibalut celana hitam ketat.


Gara-gara terus-menerus melirik Bu Marmo, mobil yang kubawa nyaris menabrak becak. Untung Bu Marmo mengingatkan hingga aku bisa sigap menghindar. “Makanya jangan meleng! Kenapa sih, sepertinya Nak Anto ngelihatin ibu terus deh,”

“Ee.. ee.. anu.. eee ibu cantik banget sih,” jawabku sekenanya.

“Hush… orang sudah nenek-nenek dibilang cantik,”

Tanpa terasa mobil akhirnya memasuki pelataran parkir supermarket yang dituju. Tadinya aku berniat menunggu di tempat parkir sementara istri atasanku itu berbelanja. Tetapi Bu Marmo memintaku menemani masuk ke supermarket. Bahkan ia menggamit lenganku sambil berjalan di sisiku layaknya seorang istri pada suami.

Sebagai anak buah dari suaminya, sebenarnya aku agak canggung. Tetapi karena Bu Marmo terkesan sangat santai, aku pun akhirnya bisa bersikap wajar. Bahkan setelah berkali-kali tanpa disengaja lenganku menekan buah dada Bu Marmo yang kelewat merapat saat berjalan, aku mulai nekad mengisenginya. Sambil berjalan, siku lengan kiriku sengaja kutekan ke teteknya hingga kurasakan kelembutan buah dadanya.

Entah tidak tahu ulah isengku atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu, Bu Marmo bukannya menghindar dari siku lenganku yang ‘nakal’. Sambil terus melangkah di sisiku untuk melihat-lihat barang-barang di supermarket posisi tubuhnya malah kian merapat. Akibatnya tonjolan buah dadanya kurasakan ikut menekan lenganku. Aku juga mulai bisa memperkirakan seberapa besar tetek istri atasanku itu.

Sebenarnya aku kurang begitu suka mengaantar istri berbelanja. Sebab biasanya, istriku suka berlama-lama khususnya ketika berada counter pakaian. Begitu pun Bu Marmo, hampir setiap baju dan gaun wanita yang menarik hatinya selalu didekati dan beberapa diantaranya dicobanya di kamar pas.

Namun aku yang biasanya jenuh dan menjadi bersungut-sungut, kali ini malah menikmatinya. Sebab sambil menunggu wanita itu memilih baju-baju yang hendak dibelinya, aku jadi punya banyak kesempatan untuk melihat bentuk tubuh istri atasanku itu. Saat kuamati dari belakang, wanita yang usianya sudah kepala lima itu ternyata masih lumayan seksi.

Dalam balutan celana ketat yang dipakainya, pinggul dan pantat Bu Marmo benar-benar aduhai. Apalagi celana dalam yang dipakainya jadi tercetak sempurna karena ketatnya celana warna hitam yang dikenakan. Aku terus melirik dan mencari kesempatan untuk menatapnya saat Bu Marmo membungkuk atau memilih-milih pakaian yang menjadikan posisi pantatnya menonjol.

Saat hendak mencoba baju yang diminatinya di kamar pas, Bu Marmo menitipkan tasnya padaku sambil meminta berada tak jauh dari lokasi kamar pas. Lagi-lagi goyangan pinggul dan pantat besarnya menggoda mataku saat ia melangkah. Pikiranku jadi menerawang membayangkan Bu Mumun. Ada perasaan cemburu karena kuyakin Pak Marmo lagi berusaha merayu atau malah sudah berhasil menaklukkan Bu Mumun dan tengah menikmati kemontokkan tubuh wanita itu. Ah andai Bu Marmo bisa kurayu atau membutuhkan layanan seksku, ujarku membathin.


Aku merasakan adanya peluang untuk itu ketika kudengar Bu Marmo memanggilku dari kamar pas. Dengan tergesa aku menuju ke kamar pas yang letaknya agak terpencil dan tertutup oleh display aneka pakaian di supermarket tersebut. Namun di lokasi itu, istri atasanku tak kunjung keluar dan menyampaikan maksudnya memanggilku hingga aku nekad melongokkan kepala dengan menyibak tirai kamar pas.

Ternyata, di kamar pas Bu Marmo dalam keadaan setengah telanjang. Karena setelah mencoba baju dan celana yang hendak dibelinya ia belum memakai pakaiannya lagi. Hanya BH dan celana dalam krem yang menutup tubuhnya. Maka yang semula hanya bisa kubayangkan kini benar-benar terpampang di hadapanku.

Wanita yang usianya tidak muda lagi itu, benar-benar masih menggoda hasratku. Teteknya nampak agak kendur, tetapi besar dan bentuknya masih bagus. Pahanya mulus tanpa cela. Hanya meskipun perutnya tidak membuncit seperti perut Bu Mumun, namun terlihat bergelombang dan ada beberapa kerutan. Maklum karena faktor usia. Sedangkan gundukkan di selangkangannya benar-benar membuatku terpana, besar dan membukit. Bisa kubayangkan montoknya memek Bu Marmo dari apa yang tampak oleh cetakan pada celana dalam yang membungkusnya.

Dan anehnya kendati tahu akan kehadiranku, ia tak merasa jengah atau mencoba menutupi ketelanjangannya. Bahkan meskipun mataku terbelalak dan terang-terangan menjilati ketelanjangannya. “Ih kayak yang nggak pernah lihat perempuan telanjang saja. Nak tolong ke sales untuk bajunya ganti nomor yang lebih besar sedikit. Yang ini kekecilan,” ujarnya tetap santai.

Saat kembali seusai menukar baju pada sales, Bu Marmo memang telah memakai kembali celana panjang warna hitamnya. Tetapi di bagian atas tetap terbuka. Bahkan tanpa menyuruhku pergi, ia segera memakai pakaian yang kusodorkan untuk dicobanya dihadapanku. “Menurut Nak Anto, ibu pantes nggak pakai pakaian model seperti ini,” ujarnya meminta komentarku.

“Ee.. ee bagus. Seksi banget,”

“Hus dimintai pendapat kok seksi.. seksi. Seksi apaan sih,”

“Ee maksud saya dengan pakaian itu ibu terlihat makin cantik dan seksi,” kataku yang tidak berkedip menikmati kemewahan buah dadanya.

Entah karena pujianku atau menganggap baju itu memang sesuai seleranya, Bu Marmo akhirnya memutuskan membelinya di samping beberapa stel pakain lainnya. Hanya ketika aku menemani di counter pakaian dalam dan ia memilih-milih BH nomor 36B, sambil berbisik kuingatkan bahwa nomor itu terlalu kekecilan dipakai olehnya.

“Ih sok tahu,” ujarnya lirih.

“Kan tadi sudah dikasih lihat sama ibu,”


Bu Marmo mencubit pinggangku. Tetapi tidak sakit karena cubitan mesra dan gemas. Kalau bukan ditempat keramaian, rasanya aku sudah cukup punya keberanian untuk memeluk atau mencium istri atasanku itu. Karenanya setelah membayar semua yang dibelinya, saat keluar dari supermarket lengannya kugamit untuk meyakinkannya bahwa aku pun tertarik padanya.

Seperti tujuannya semula, setelah dari supermarket Bu Marmo berniat ke rumah temannya untuk urusan pembelian perhiasan. Tetapi menurutnya ia agak lapar dan ingin menu ikan bakar. Maka seperti yang dimintanya, mobil pun meluncur ke kawasan pantai di mana terdapat rumah makan yang berbentuk saung-saung terpisah dan tersebar dan khusus menjual aneka menu seafood.

Setelah memesan beberapa menu dan minuman, kami menuju ke salah satu saung paling terpencil dan tertutup rimbun pepohonan. Tadinya Bu Marmo memprotes karena menurutnya tempatnya terlalu gelap dan terpencil. Tetapi saat tanganku melingkar ke pinggangnya dan kukatankan bahwa lebih gelap lebih asyik, protesnya yang boleh jadi cuma pura-pura segera berhenti dan hanya sebuah cubitan darinya sebagai jawabannya.

Dari pinggangnya tangaku meliar turun merayap di pantatnya. Dari luar celana ketat yang dipakainya, pantat besarnya kuraba. Bokongnya yang lebar masih lumayan padat, hanya agak sedikit turun. Dengan gemas kuusap-usap dan kuremas pantat Bu Marmo. Lagi-lagi ia tidak menolak dan bahkan kian merapatkan tubuhnya. Maka setelah di dalam saung, ia langsung kupeluk dan kulumat bibirnya.

Sejenak ia tidak bereaksi. Hanya diam membiarkan lidahku bermain di rongga mulutnya. Namun setelah tanganku merayap di selangkangannya dan menelusup masuk ke dalamnya melalui risleting celananya yang telah kuturunkan, pagutanku di mulutnya mulai mendapatkan perlawanan. Bibir dan lidah Bu Marmo ikut aktif melumat dan memainkan lidahnya.

Memek istri atasanku itu tak cuma tebal, tapi juga lebar dan membusung. Itu kurasakan saat telapak tanganku mengusap dari luar celana dalam yang dipakainya. Tetapi nampaknya tak berambut. Permukannya terasa agak kasar karena munculnya rambut-rambut yang baru tumbuh. Sepertinya ia baru mencukur bulu-bulu jembutnya itu.

Namun saat aku hendak lebih memelorotkan celana panjangnya agar leluasa meraba dan mengusap memeknya Bu Marmo mencegah. “Jangan Nak Anto, nanti ada orang. Kan pelayan belum ke sini buat nganterin pesanan makanan kita,” sergahya.

“Ii… ii.. iya Bu,”

Benar juga, ujarku membathin. Aku terpaksa menahan diri untuk tidak meneruskan niatku memelorotkan celana panjang yang dipakai Bu Marmo. Hanya usapan dan rabaanku di busungan memeknya tak kuhentikan. Bahkan sesekali aku meremasnya dengan gemas karena keinginan untuk memasukkan jariku ke lubang nikmatnya tak kesampaian.


Diobok-obok di bagian tubuhnya yang paling peka, kendati masih di luar celana dalamnya, Bu Marmo mendesah. Pelukannya semakin ketat dan lumatannya di bibirku makin menjadi. Rupanya wanita yang usianya sudah di atas kepala lima itu mulai terbangkitkan hasratnya.

Aku dan Bu Marmo baru melepaskan pelukan dan segera berbenah setelah dari jauh kulihat dua pelayan wanita membawa nampan berisi makanan dan minuman yang kami pesan. Selembar uang pecahan Rp 20 ribu kusisipkan di nampan salah satu pelayan perempuan setelah mereka selesai menghidangkan yang kami pesan. “Terima kasih dan selamat menikmati,” kata keduanya sambil melemparkan senyum dan beranjak meninggalkan saung yang kami tempati.

Tetapi bukannya makanan yang terhidang yang kuserbu setelah kedua pelayan meninggalkan saung. Dari arah belakang kudekati dan kupeluk Bu Marmo yang di tikar saung yang menyajikan makanan secera lesehan itu. “Tidak makan dulu Nak Anto?” ujar Bu Marmo.

Tetapi aku tak peduli pada apa yang dikatakan istri atasanku itu. Hasrtaku lebih besar untuk segera menikmati kehangatan tubuhnya ketimbang makanan yang tersaji. Hingga setelah membenamkan wajahku ke keharuman rambutnya, tanganku langsung meliar, Meremasi teteknya dari luar t shirt warna krem yang dipakai dibalik jaketnya yang tak terkancing.

Seperti tetek Bu Mumun, susu Bu Marmo juga sudah agak kendur. Tapi dari segi ukuran, nampaknya tak jauh beda. Besar dan empuk, entah bentuk putingnya. Sambil kuciumi tengkuk dan lehernya, tanganku merayap ke balik t shirt yang dipakainya. Kembali aku meremas teteknya dan kali ini langsung dari BH yang membungkusnya. Kelembutan buah dada Bu Marmo baru benar-benar dapat kurasakan setelah aku berhasil merogoh dan mengelurkannya dari BH.

Bu Marmo mulai menggelinjang dan mendesah saat aku meremas-remas teteknya perlahan dan memainkan puting-putingnya. Ia menyandarkan tubuh ke dadaku seakan memasrahkan tubuhnya padaku. “Sshhh….aaahhh….. sshhh….aahhh… ibu sudah lama tidak begini Nak Anto,” ujarnya mendesah.

“Lho kan ada Pak Marmo,” kataku menyelidik.

“Dia jarang mau diajak dan sudah sulit bangun itunya,”

Meski sudah mendengar langsung dari Pak Marmo aku agak kaget karena ternyata cerita atasanku itu benar adanya. Pantesan Bu Marmo merasa tidak ada masalah meninggalkan suaminya dipijat wanita lain berdua di rumahnya.


Ternyata wanita yang ada dalam pelukanku ini sudah lama tidak dijamah suaminya. Membayangkan itu aku makin terangsang. Jas hitam yang dipakai Bu Marmo kulepas dari tubuhnya. Namun saat hendak kulepas kaos krem yang dikenakan dibalik jaket, wanita istri atasanku itu mencegah. “Takut nanti ada yang ke sini Nak Anto,” ujarnya.

Meski aku telah membujuknya bahwa tak mungkin ada pelayan yang datang kecuali tombol bel yang ada ditekan untuk memanggil, Bu Marmo tetap menolak. Menurutnya ia tetap merasa was-was karena berada di ruang terbuka. “Kalau celana dalam ibu saja yang dibuka nggak apa-apa,” katanya akhirnya.

Agak kecewa sebenarnya karena aku ingin melihat tubuh istri atasanku dalam keadaa bugil. Tetapi membuka celana berarti memberiku kesempatan melihat memeknya. Bagian yang paling ingin kulihat pada tubuh Bu Marmo karena saat di kamar pas supermarket, bagian membusung di selangkangannya itu masih tertutup celana dalam.

Tanpa membuang kesempatan, segera kubaringkan Bu Marmo di lantai saung yang beralaskan tikar itu. Kubuka kancing celana hitam yang dipakai dan kutarik risletingnya. Kini kembali kulihat gundukan memeknya yang masih dibungkus celana dalam krem. Aku menyempatkan membelai memek istri atasanku itu dari luar celana dalamnya sebelum menarik dan memelorotkan celana panjangnya. Benar-benar tebal, besar dan masih cukup liat.

Aku makin terpana setelah memelorotkan celana dalamnya dan membuat tubuh bagian bawah Bu Marmo benar-benar bugil. Memeknya benar-benar nyempluk, membusung dan tanpa rambut. Kalau dibiarkan tumbuh mungkin jembut di memek Bu Mumun masih kalah lebat. Namun Bu Marmo rupanya lebih senang mencukurnya, hingga nampak gundul dan polos.

Memek tembemnya itu terasa hangat saat aku menyentuh dan membelainya. Tetapi sekaligus terasa kasar karena bulu-bulu jembutnya mulai tumbuh. Aku yang menjadi makin terangsang dan tak sabar untuk melihat itilnya, segera membuka posisi kaki Bu Marmo yang masih merapat.

Ah lubang memeknya ternyata sudah lebar, menganga diantara bibir kemaluannya yang tebal dan berkerut-kerut. Bibir kemaluannya coklat kehitaman. Tetapi itilnya yang mencuat menonjol di bagian atas celah memeknya nampak kemerahan. Aku tak lagi bisa menahan diri. Langsung kukecup memeknya dengan mulutku. Memek Bu Marmo ternyata sangat terawat dan tidak berbau. Ia mendesah dan makin melebarkan kangkangan pahanya saat lidahku mulai menyapu seputar bibir luar vaginanya.

Lidahku terus menjelajah, melata dan merayap seolah hendak melumasi seluruh permukaan tepian labia mayoranya. Bahkan dengan gemas sesekali bibir vaginanya yang telah menggelambir kucerucupi. Membuat Bu Marmo mendesis mengangkat pantat menahan nikmat. “Aakkhhh… sshhh… shhh… aahhh…. ookkhhh…. ssshhhh,” rintih wanita itu mengikuti setiap sapuan lidah dan cerucupan mulutku di memeknya.

Sambil mendesis dan mendesah, kulihat Bu Marmo meremasi sendiri susunya dari luar kaos warna krem yang dipakainya. Rupanya ia sangat menikmati sentuhan awal oral seks yang kuberikan. Aku yang memang berniat memberi kesan mendalam pada persetubuhan pertama dengan istri atasanku itu, segera meningkatkan serangan. Dengan dua tanganku bibir memeknya kusibak hingga terlihat lubang bagian dalam kemaluannya. Lubang yang sudah cukup lebar dan terlihat basah.


Ke celah lubang nikmat itulah lidahku kujulurkan. Terasa asin saat ujung lidahku mulai memasuki lorong kenikmatannya dan menyentuh cairan yang keluar membasah. Aku tak peduli. Ujung lidahku terus terulur masuk menjelajah ke kedalaman yang bisa dijangkau. Bahkan di kedalaman yang makin pekat oleh cairan memeknya, lidahku meliar. Melata dan menyodok-nyodok. Akibatnya Bu Marmo tak hanya merintih dan mendesah tapi mulai mengerang.

“Aahhkkkhhh…. aaahhh…. oookkkhhhh… enak banget Nak Anto. Oookkh.. terus.. Nak, aaakkkhhhhh,” erangnya kian menjadi.

Bahkan ketika lidahku menjilat itilnya, tubuh istri atasanku itu mengejang. Ia mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya. Seolah menjemput lidahku agar lebih dalam menggesek dan mendesak ke kelentitnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menempatkan kedua tanganku untuk menangkup dan menyangga pantatnya. Dan sambil terus menjilati itilnya kubenamkan wajahku di permukaan memeknya sambil menekan dan meremas-remas pantatnya.

Kenikmatan tak tertahan yang dirasakan Bu Marmo akibat jilatan-jilatan di kelentitnya membuat gairah wanita itu makin memuncak. Kakinya mengelonjot dan menyepak-nyepak sambil erangannya makin menjadi. Bahkan kepalaku dijambaknya. “Ahh.. ahhh.. ooohh ….aaaauuuhhhhh…. enak.. sshhh…. sshhh…. aahhh enak banget. Ibu nggak tahan Nak Anto, aaahhh…. aahhhh,” sesekali tangannya berusaha menjauhkan kepalaku dari memeknya.

Tetapi aku tak peduli. Jilatan lidahku di itilnya bukannya kuhentikan tetapi makin kutingkatkan. Bahkan dengan gemas, bagian paling peka di kemaluannya itu kucerucupi dan kuhisap-hisap. Akibatnya ia tak mampu bertahan lebih lama. Pertahanannya jebol. Kedua pahanya yang kekar menjepit kencang kepalaku dan menekan hebat hingga wajahku benar-benar membenam di memeknya.

Berbarengan dengan itu ia memekik dan mengerang kencang namun tertahan. Cairan kental yang terasa hangat juga kurasakan menyemprot mulutku uang masih menghisap itilnya. Saat itulah aku tahu Bu Marmo baru saja mencapai puncak kenikmatannya. Rupanya, upayaku untuk membuatnya orgasme tanpa mencoblos memeknya dengan kontolku berhasil.

Setelah beberapa lama, nafas Bu Marmo yang sempat memburu berangsur pulih seiring dengan mengendurnya jepitan paha wanita itu di kepalaku. Hanya ia tetap terbaring. Mungkin tenaganya terkuras setelah puncak kenikmatan yang didapatnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menyeka dan membersihkan mulutku memakai serbet makan yang tersedia bersama sejumlah menu makanan yang belum sempat kami sentuh.

Aku baru saja menenggak habis segelas teh manis hangat yang sudah diingin saat Bu Marmo menggeliat dan terbangun. Kulihat ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat manis. Mungkin sebagai ungkapan terima kasih atas yang baru kuberikan dan sudah lama tidak diperoleh lagi dari suaminya. “Nak Anto sudah lapar? Kalau lapar makan dulu deh,” ujarnya.

“Saya sudah kenyang kok Bu,” jawabku.

“Kenyang apa, wong baru minum teh saja kok,”

“Bukan kenyang karena makanan. Tetapi karena menjilati memek ibu yang mantep banget,” candaku sambil menatapi busungan memeknya.

“Ih dasar. Ibu bener-bener nggak tahan lho Nak Anto. Soalnya sudah lama banget nggak dapat yang seperti tadi,” ujarnya tersipu.


Rupanya ia juga baru sadar bahwa bagian bawah tubuhnya masih telanjang. Celana dalam warna krem miliknya yang teronggok segera diambil dan Bu Marmo berniat untuk memakainya. Namun aku langsung mencegah. Kurebut dari tangannya dan kulempar agak jauh darinya. “Jangan ditutup dulu dong Bu. Saya masih belum puas lihat punya ibu,” kataku sambil mengusap memeknya.

“Nak Anto tidak pengin makan dulu?”

“Nanti saja ah. Perut saya sih belum lapar. Tapi kalau yang ini sudah lapar sejak tadi,” ujarku sambil menurunkan risleting celanaku dan mengeluarkan isinya dari celana dalam yang kupelorotkan.

Kontolku keras dan tegak mengacung sempurna. Urat-uratnya terlihat menonjol melingkari sekujur batangnya yang hitam dan berukuran lumayan besar. Bu Marmo tampak terpana melihatnya. “Punya saya hitam dan jelek ya Bu,” kataku memancing.

“Bukan.. bukan karena itu. Tapi ukurannya.. kok gede banget,”

“Masa? Tapi ibu suka sama yang gede kan?” Kataku sambil merubah posisi menggeserkan bagian bawah tubuhku mendekat ke istri atasanku. Aku berharap ia tak hanya menatap senjataku tapi mau mengelusnya atau bahkan mengulumnya. Sementara tanganku tetap merabai dan mengusap-usap memeknya yang tebal.

Bu Marmo ternyata cepat tanggap dan mengerti apa yang kuinginkan. Batang zakarku digenggamnya. Tetapi ia hanya mengelus dan seperti mengamati. Mungkin ia tengah membandingkan senjata milikku dengan kepunyaan suaminya. “Beda dengan milik bapak ya bu. Punya saya memang sudah hitam dari sananya kok,” candaku lagi.

“Ih.. bukan begitu. Punya Nak Anto ukurannya nggilani. Kayaknya marem banget,” ujarnya tersenyum. Wajahnya tampak dipenuhi nafsu.

Akhirnya, Bu Marmo benar-benar melakukan seperti yang kuharapkan. Setelah mengecu-ngecup topi baja kontolku, ia mulai memasukkan ke dalam mulutnya. Awalnya cuma sebagian yang dikulumnya. Selanjutnya, seluruh batang zakarku seperti hendak ditelannya. Mulutnya terlihat penuh karena berusaha memasukkan seluruh bagian tonggak daging milikku yang lumayan besar dan panjang.

Wanita istri atasanku itu ternyata cukup pandai dalam urusan kulum-mengulum. Setelah seluruh bagian batang kontolku masuk ke mulut, ia menghisap sambil menarik perlahan kepalanya. Begitu ia melakukannya berulang-ulang. Aku mendesah oleh kenikmatan yang diberikan. “Oookkhhh… sshhh…. oookkkhhhhh…. enak banget… aakkkkhhhh…. terusss…. aaakkkkkhhhhhh,” desisku.


Sambil terus melumati batang kontolku, tangan Bu Marmo juga menggerayang dan memainkan biji-biji pelir milikku. Kalau bukan di rumah makan mungkin aku sudah mengerang dan melolong oleh sensasi dan kenikmatan yang diberikan. Sebisaku aku berusaha menahan agar tidak sampai rintihanku terdengar orang lain.

Untuk melampiaskannya, aku mulai ambil bagian dalam permainan pemanasan yang dilakukannya. Aku harus bisa mengimbangi permainan Bu Marmo. Kedua pahanya kembali kukangkangkan dan wajahku kembali kubenamkan di selangkangannya. Bu Marmo sebenarnya belum sempat mencuci memeknya setelah lendir kenikmatannya keluar saat orgasme sebelumnya. Tetapi aku tak peduli. Memek wanita yang sudah dipanggil nenek itu kucerucupi.

Bahkan jilatan lidahku tidak hanya menyapu bagian dalam lubang memek dan kelentitnya. Tetapi juga melata di sepanjang alur liang nikmatnya yang menganga namun juga ke tepian lubang duburnya. Saat aku menjilat-jilat tepian lubang anusnya Bu Marmo menggerinjal dan memekik tertahan. Mungkin kaget karena tak menyangka lidahku bakal menjangkau bagian yang oleh sementara orang dianggap kotor.

Tetapi itu hanya sesaat. Setelah itu ia kembali melumati dan menghisapi batang kontolku sambil mendesah-desah nikmat. Karenanya aku makin fokus dan makin sering kurahkan jilatan lidahku ke lubang duburnya sambil sesekali meremasi bongkahan pantat besarnya.

Pertahananku nyaris jebol saat mulut Bu Marmo mulai mencerucupi biji pelir kontolku. Untung Bu Marmo mengambil insiatif menyudahi permainan pemanasan itu. Ia memintaku segera memasukkan rudalku ke liang sanggamanya. “Ahhh… sudah dulu ya. Sudah nggak kuat pengin merasakan batang Nak Anto yang gede ini nih,” kata Bu Marmo seraya melepaskan batang kontolu dari genggamannya.

“Ii.. iiya bu, saya juga sudah pengin banget merasakan memek ibu,”

Aku mengambil ancang-ancang di antara paha Bu Marmo yang mengangkang lebar. Lubang bagian dalam kemaluannya yang menganga terlihat kemerahan . Sepertinya lubang nikmat Bu Marmo telah menunggu untuk disogok. Memang sudah lama tidak ditengok karena kemaluan suaminya yang mulai loyo. Kepala penisku yang membonggol sengaja kuusap-usapkan di bibir luar memeknya yang sudah amburadul bentuknya. Bahkan ada sebentuk daging mirip jengger ayam yang menjulur keluar. Entah apa namanya karena aku baru melihatnya.

Bu Marmo mendesah saat ujung penisku menyentuh bibir kemaluannya. Meski nafsuku kian membuncah melihat memek tembemnya yang menggairahkan, aku berusaha menahan diri. Bahkan ujung topi baja rudalku hanya kumainkan untuk menggesek dan mendorong gelambir daging mirip jengger ayam di memek Bu Marmo. Sedikit menekannya masuk dan menariknya kembali.

Akibatnya Bu Marmo merintih dan memintaku untuk segera menuntaskan permainan. “Ayo Nak Anto… jangan siksa ibu. Masukkan kontolmu.. ssshhh… aahh… sshh ahhh ayo nak,”


Blleeessseeekkk… akhirnya batang kontolku kutekan dan benar-benar masuk ke lubang memeknya. Karena sudah lumayan longgar dan banyaknya pelicin yang membasah di lubang memeknya, batang kontolku tidak mengalami hambatan berarti saat memasukinya. Bagian dalam lubang Memek Bu Marmo terasa hangat dan sangat becek.

Setelah batang zakarku benar-benar membenam di kehangatan liang sanggamanya, kurebahkan tubuhku untuk menindih tubuh montoknya. Bibir istri atasanku yang merekah perlahan kukecup dan akhirnya kulumat. Saat itulah sambil terus mengulum dan melumati bibirnya, mulai kuayun pinggulku dan menjadikan batang kontolku keluar masuk di lubang memeknya.

Bu Marmo juga mulai mengimbanginya. Tak kalah hot, lidahku yang menyapu rongga bagian dalam mulutnya sesekali dihisap-hisapnya. Bahkan ia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku baru mulai merasakan kelebihan yang dimiliki Bu Marmo. Bukan cuma tubuhnya yang matang akibat usia senja namun masih menggairahkan. Tetapi kerja otot bagian dalam memeknya juga lebih terasa. Berdenyut dan seperti memerah batang kontolku.

Kini giliran aku yang dibuatnya mengerang. Nampaknya istri atasanku telah benar-benar matang dalam hal urusan ranjang. Untuk melampiaskannya, kuremas gemas teteknya yang besar dari luar kaos yang dipakainya. Bahkan karena kurang puas, kaosnya kusingkap dan sepasang payudaranya kurogoh dan kutarik keluar dari kutangnya. Pentil-pentil teteknya yang berwarna coklat kehitaman kupelintir dan kumain-mainkan dengan jariku.

Blep… blep…. blep… begitu suara yang kudengar setiap kali ayunan pinggulku menyentuh selangkangan Bu Marmo. Di samping bunyi kecipak karena lendir yang kian membanjir di liang sanggamanya. “Sshhh… ssshh …aahh …. aahh terus nak.. aahh enak banget. Kontolmu enak bangat Nak Anto,”

“Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,”

Bu Marmo tersenyum. Wajahnya kian memerah. Kembali kulumat bibirnya sambil tak lepas tanganku menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan tangan Bu Marmo mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan kursakan tempo goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai mendekat ke puncak gairahnya.


Aku yang juga mulai kehilangan daya tahan segera mengimbanginya. Berkali kontolku kutikamkan ke lubang memeknya dengan tekanan yang lebih kencang dan lebih bertenaga. Bu Marmo memekik dan mengerang. “Aaauuww… aaakhhh ,,,, aakkkhhh enak banget… aaakhhh…. terus… sayang …. aaaakhhh … ya…. aaakhhh memek ibu enak bangat disogok begini… aaaaakkkkhhhh …. sshhhh… sshhh… aaahhhhh,” rintihan dan suara Bu marmo makin tak terkontrol.

Aku jadi makin terpacu. Bukan cuma mulutnya yang kucium. Tapi ujung hidungnya yang bangir dan dahinya juga kucerucupi dengan mulutku. Bahkan lidahku menjelajah ke lehernya dan terus melata. Lubang telinga Bu Marmo juga tak luput dari jilatan lidahku setelah menyibak rambutnya.

Tubuh Bu Marmo kian mengejang. Kedua kakinya yang kekar dan panjang membelit pinggangku dan menekannya. Kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Rupanya ia hampir sampai di garis batas kenikmatannya. Aku yang juga sudah mendekati puncak gairah makin meningkatkan tikaman- tikaman bertenaga pada lubang sanggamanya.

Akhirnya gairah Bu Marmo benar-benar tertuntaskan. Cairan yang menyembur di lubang memeknya dan cengkereman kuku-kukunya di punggungku menjadi pertanda kalau ia sudah mendapatkan orgasmenya. Tetapi aku terus mengayun. Kocokan batang kontolku di lubang memeknya yang makin banjir tak kuhentikan. Bahkan makin kutingkatkan karena kenikmatan yang kian tak tertahan.

Puncaknya, Bu Marmo kembali mencengkeram pantatku. Kali ini dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan agar pinggulku tidak dapat bergerak dan kontolku tetap membenam di lubang memeknya. Saat itulah, otot-otot bagian dalam vaginanya terasa mencengkeram bagitu hebat dan bergelombang. Serasa memerah dengan kuatnya. Aku merintih dan melolong panjang. Pertahanku menjadi jebol dan maniku menyemprot sangat banyak gua kenikmatan istri atasanku. Bersama peluh membanjir, tubuhku ambruk di atas tubuh montok Bu Marmo dengan nafas memburu.

“Nanti ikan bakar dan kepiting saos tomatnya minta dibungkus saja Nak Anto. Sayang kalau tidak dimakan. Tapi jangan lupa piring-piringnya dibuat kotor dengan masi dan lauk yang lain, hingga sepertinya kita sudah benar-benar makan,” kata Bu Marmo setelah merapikan kembali baju yang dipakainya.

Kami meninggalkan rumah makan saung di pinggir pantai setelah membayar di kasir dan meninggalkan lembaran dua puluh ribu rupiah sebagai tip kepada petugas yang membereskan serta membungkuskan makanan yang memang tidak kami makan. Dari spion, wajah Bu Marmo kulihat sangat cerah. Pasti karena kenikmatan yang baru direguknya serta nafsunya yang lama tertahan telah tersalurkan.


“Apa lihat-lihat. Wanita sudah tua kok masih diajak ngentot,” kata Bu Marmo yang memergoki ulah mencuri-curi pandang ke arahnya lewat spion. Tetapi perkataannya itu bukan karena marah.

“Usia boleh saja sudah kepala lima. Tetapi wajah ibu masih cantik dan tubuh ibu masih sangat merangsang. Mau deh tiap malam dikelonin ibu,” ujarku menggoda.

“Bener tuh,”

“Sungguh Bu. Saya bisa ketagihan deh oleh empotan memek ibu yang dahsyat tadi,’

“Ibu juga suka sama batang Nak Anto. Besar dan panjang. Kalau mau kapan-kapan kita bisa mengulang. Kalau ada kesempatan nanti saya SMS,” ujar Bu Marmo.

Aku sangat senang karena sudah mendapat peluang untuk terus bisa menyetubuhinya. Tangan Bu Marmo kuraih dan kugenggam. Bahkan sempat meremas susunya sambil mengendalikan kemudi. Hanya Bu Marmo mengingatkan bahwa ulahku bisa menyebabkan kecelakaan hingga aku kembali berkosentrasi pada setir mobil yang kukendarai. Ah, memek wanita tua ternyata masih sangat nikmat.

Sampai di rumah Pak Marmo sudah tidur di kamarnya. Sedang Bu Mumun, terlihat berbincang dengan Yu Sarti, pembantu di rumah itu. Setelah berbincang sebentar, aku dan Bu Mumun pamit pulang. Hanya sebelumnya Bu Marmo memberikan bungkusan lauk yang belum sempat kami makan sewaktu di rumah makan. “Buat oleh-olah anak di rumah Bu,” kata Bu Marmo.

Di jalan, saat membonceng sepeda motor dan kutanya tentang ulah Pak Marmo, Bu Mumun cerita bahwa atasanku itu benar-benar genit. Selama dipijat, kata Bu Mumun, ia terus merayu dan berusaha menggerayangi. “Tapi tidak saya ladeni lho Pak Anto,” ujar Bu Mumun meyakinkanku.

“Pasti Pak Marmo maksa untuk bisa megang memek ibu kan? Soalnya dia kemarin bilang pengin banget lihat punya ibu,”

“Iya sih tapi hanya pegang. Dan karena terus maksa akhirnya ibu kocok,” ungkap Bu Mumun jujur.


Aku tertawa dalam hati. Sementara suaminya hanya bisa meraba memek wanita lain dan dipuaskan dengan dikocok, istrinya malah sampai orgasme dua kali disogok penis laki-laki lain. Bahkan istrinya berjanji untuk mengontak agar bisa mengulang kenikmatan yang telah kami lakukan.

Sampai di rumah anak-anak Bu Mumun sudah tidur. Dan mungkin karena terangsang gara-gara memeknya digerayangi Pak Marmo, Bu Mumun memaksaku untuk singgah di rumahnya. Untuk menolak rasanya kurang enak. Karena biasanya aku yang sering memintanya untuk melayaniku.

Rupanya nafsu Bu Mumun sudah benar-benar tinggi. Di kamarnya, saat ia mulai mengulum batang kontolku dan tanganku menggerayang ke selangkangannya, memeknya sudah basah. Bahkan saat tangaku mulai mencolok-colok lubang nikmatnya, Bu Mumun kelabakan. Memintaku untuk segera menuntaskan hasratnya.

Tetapi aku berusaha bertahan. “Punya saya belum terlalu keras Bu. Nanti kurang enak. Kalau ibu menjilatnya di sini, pesti cepat kerasnya,” kataku sambil mengangkat dan memperlihatkan lubang anusku,” kataku.

Sebenarnya, kontolku kurang keras karena sebelumnya telah dipakai melayani Bu Marmo di rumah makan. Namun keinginan untuk dijilati di bagian anus, mendapat tanggapan serius Bu Mumun. Ia langsung berjongkok di tepi ranjang dan berada selangkanganku. Dan tanpa ragu atau merasa jijik, langsung menjulurkan lidahnya untuk menyapu biji pelirku dan diteruskan dengan menjilat-jilat lubang duburku. Rasanya geli-geli nikmat dan membuat tubuhku merinding.

Akibatnya aku dibuat kelojotan. Dibuai kenikmatan yang diberikan Bu Mumun. Terlebih ketika ia mulai mencucuk-cucukkan lidahnya ke lubang duburku. “Aaakkhhhhh… aakkhh.. enak banget …. oookkh enak banget. Saya suka suka banget ngewe sama ibu. Oookkkh … nikmat,”


Dirangsang sebegitu rupa kontolku makin mengeras. Tetapi Bu Mumun terus saja menjilati dan mencerucupi anusku. Ia melakukannya sambil meremasi dan mengocok-ngocok kontolku yang makin terpacak. Takut keburu muncar sebelum dipakai menyogok lubang memeknya, aku meminta Bu Mumun menghentikan aksinya.

Tubuh montoknya langsung kutarik dan kutelentangkan di ranjang. Dalam posisi mengangkang, aku langsung menungganginya. Bleesss… kontolku langsung membelesak di lubang nikmatnya yang basah. Ia agak tersentak. Mungkin karena aku menggenjotnya secara tiba-tiba.

TAMAT

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)